Penyebab lain yang mencegah manusia dari keinginan menggapai ridha Allah dan berjuang dengan ikhlas demi memperoleh surga adalah kesenangan yang berlebihan akan nilai–nilai kehidupan duniawi, seperti
kekuasaan, status sosial dan nama baik. Nilai–nilai duniawi seperti itu sama sekali tidak ada artinya untuk akhirat. Allah memberitahukan bahwa kelebihan manusia ditentukan bukan berdasarkan kekuasaan atau status, melainkan berdasarkan tingkat kebajikannya. Sebagaimana firman-Nya,
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki–laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa–bangsa dan bersuku–suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya, orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya, Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (al-Hujurat [49]: 13)
Dalam salah satu karyanya, Badiuzzaman Said Nursi menegaskan kenyataan ini,
“(Rintangan kedua yang merusak keikhlasan) adalah menyanjung diri sendiri dan mengutamakan bujukan nafsu setan dengan menarik perhatian diri dan perhatian serta sambutan orang lain, yang digerakkan oleh keinginan akan ketenaran, kemasyhuran, dan pangkat atau jabatan. Ini sungguh–sungguh merupakan penyakit hati yang serius, yang membuka peluang menuju kemunafikan dan mementingkan diri sendiri. Hal ini disebut ‘penyekutuan Allah yang tersembunyi’ dan ini merusak keikhlasan.” [1]
Keyakinan bahwa kekuasaan dan jabatan termasuk sebuah kelebihan, adalah tipuan yang lazim terjadi di kalangan orang–orang awam. Siapa pun mukmin sejati yang memahami makna keimanan, ia tidak akan berada pada kecenderungan godaan–godaan hawa nafsunya. Ia bahkan akan mencari kelebihan melalui keikhlasan. Karena itu, orang yang menyucikan jiwanya dari keinginan–keinginan tersebut akan mendapatkan sesuatu yang jauh melebihi apa yang ada di dunia ini. Ia akan dilimpahi ketenaran dan kehormatan sejati. Umat manusia diingatkan akan kenyataan ini dalam salah satu ayat kitab suci Al–Qur`an,
“Jika kamu menjauhi dosa–dosa besar di antara dosa–dosa yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan–kesalahanmu (dosa–dosamu yang kecil) dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia (surga).” (an-Nisaa` [4]: 31)
Agar layak mendapatkan tempat mulia tersebut, kita harus memahami kebenaran di bawah ini,
“Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan maka bagi Allahlah kemuliaan itu semuanya. Kepada-Nyalah naik perkataan–perkataan yang baik dan amal saleh dinaikkan-Nya….” (Faathir [35]: 10)
Allah adalah satu-satunya pemilik kemuliaan. Salah satu cara untuk mendapatkan kemuliaan adalah melakukan amalan–amalan saleh dengan ikhlas.
Dalam karyanya, Badiuzzaman Said Nursi memberikan perhatian khusus pada masalah ini. Ia menyoroti betapa fana kekuasaan duniawi, seperti status dan nama baik, jika dibandingkan dengan tempat mulia yang dapat diperoleh di akhirat. Ia mengutip ayat Allah, “Janganlah kamu menukarkan ayat–ayat-Ku dengan harga yang rendah,” dan ia menyatakan,
“Kita sangat perlu belajar dengan sungguh–sungguh tentang keikhlasan dalam diri kita sendiri. Dengan kata lain, apa yang telah kita capai sejauh ini dalam pengorbanan dan pengabdian kita yang suci akan menjadi bagian yang hilang dan tidak akan bertahan selamanya, dan kita akan dimintai pertanggungjawaban atasnya. Kita akan membuktikan ancaman keras yang terkandung pada larangan Tuhan, “Janganlah kamu menukarkan ayat–ayat-Ku dengan harga yang rendah,” (al-Baqarah [2]: 41) dan perusakan keikhlasan, yang akan mengancam kebahagiaan abadi demi kepentingan yang tiada arti, tiada penting, berbahaya, menyedihkan, mementingkan diri sendiri, menjemukan, perasaan-perasaan yang berdasar pada kemunafikan, dan keuntungan yang tidak berarti. Dan perbuatan-perbuatan tersebut juga akan melanggar hak–hak saudara kita, mengingkari tugas yang ditugaskan oleh Al–Qur`an, dan menjadi tidak hormat terhadap suci dan benarnya keimanan.”[2]
Keinginan untuk mendapatkan status dan kekuasaan mencegah seseorang untuk tidak ikhlas dalam beramal serta menjadikannya tidak jujur. Sebagian orang yang ingin menggapai ridha Allah dan ganjaran surgawi, mungkin juga ingin mendapatkan kemuliaan dan nama baik di dunia ini. Secara tidak sengaja, hal ini akan menjadi penyebab menurunnya amalan-amalan yang dikerjakannya. Setiap mukmin sejati harus memperhatikan peringatan Al–Qur`an ini dan membersihkan jiwanya dari keinginan–keinginan untuk mendapatkan nama baik dan kemuliaan di dunia. Ia harus berusaha untuk menggapai keagungan dan kemuliaan bersama Allah.
Sebaliknya, seseorang akan dilalaikan oleh “persaingan satu sama lainnya untuk saling mengungguli” hingga akhir hayatnya, sebagaimana dinyatakan dalam ayat, “Bermegah–megahan telah melalaikan kamu sampai kamu masuk ke dalam kubur.” (at-Takaatsur [102]: 1-2) Ia hanya akan memahami bahwa ajalnya di akhirat adalah hasil dari menghabiskan tahun demi tahun untuk memenuhi hasrat hawa nafsunya yang sia-sia. Segala daya dan upaya yang dilakukannya tidak akan berguna. Lebih baik bagi seorang mukmin untuk menyucikan diri dari keburukan jiwanya semasih ada waktu untuk memperbaikinya di dunia. Ia akan memperoleh keikhlasan, yakni sebuah tingkatan akhlaq yang diridhai Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar